RUNTUHNYA tanggul di Kelurahan Malalayang Satu Barat hingga menelan dua korban jiwa, diduga akibat kurangnya pengawasan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Manado. Pasalnya, pembangunan tanggul yang menggunakan dana APBD sekitar Rp390,4 juta dinilai pengerjaannya asal jadi.
Temmy Sarundajang (61), warga yang bedampingan dengan dua rumah yang roboh tersebut mengaku heran karena setelah dibuat tanggul justru terjadi tanah longsor. “Kami sudah 30 tahun tinggal disini, baru sekarang terjadi bencana tanah longsor. Walaupun bencana ini rencana Tuhan, tapi kalau pengerjaan tanggung dilakukan dengan benar tidak akan separah ini bencananya,” terangnya.
Sarundajang menambahkan, warga tadinya tidak setuju pembangunan tanggul, namun tiba-tiba sudah ada papan proyek pembangunan. “Warga juga mempermasalahkan konstruksi tanggul setinggi 12 meter itu yang berdiri tegak lurus, tidak bersandar ke tebing. Kedalaman fondasi diduga kurang, sedangkan tak ada penyangga yang menahannya. Ada yang pernah naik ke atas, ternyata sudah banyak retak. Ada celah juga antara tebing dan tanggul,” tegasnya.
Bahkan Sarundajang mengaku sudah menyarankan pembangunan tanggul sepanjang 85 meter pada tahun 2019 lalu. “Sebab, meski tak pernah longsor, risiko tetap ada. Tetapi tidak pernah dianggarkan. Yang sekarang ada panjangnya cuma dua kavling rumah, mungkin 30 meter. Konstruksinya juga kurang bagus. Dinas PUPR dan kontraktonya harus bertanggungjawab. Dipapan proyek itu sudah jelas tertera,” ujar mantan Kepala Lingkungan II Malalayang Satu Barat ini.
Sementara Kepala Dinas PUPR Kota Manado, Royke Mamahit ketika dikonfirmasi lewat Whatsapp tidak ada jawaban. Diketahui, korban yang tertimbun akibat tanggul runtuh, Meini Pondaag dan penghuni kos bernama Hasan. Tanggul tersebut sesuai tertulis di papan proyek baru berusia sekitar sebulan setelah selesai dibangun dengan menggunakan dana APBD Manado yang pengerjaannya dimulai dari bulan September hingga Desember 2020.(ale/*)